![]() |
Yusfitriadi Tengah |
Yodha Media Indonesia -, BOGOR — Pengamat politik Kabupaten Bogor, Yusfitriadi, angkat bicara soal dugaan rangkap jabatan yang menimpa Heri Gunawan, Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Bogor dari Partai Gerindra, yang juga menjabat sebagai Ketua Karang Taruna Kabupaten Bogor.
Menurut Yusfitriadi, fenomena pejabat publik merangkap jabatan di organisasi lain bukan hal baru di Indonesia.
Namun, praktik tersebut tetap harus dilihat dalam kerangka hukum dan etika publik, terutama bagi pejabat negara yang digaji dari uang rakyat.
“Rangkap jabatan pejabat negara, termasuk anggota legislatif, memang sering kita temui. Tapi tinggal dilihat, organisasi seperti apa yang dilarang dirangkap oleh pejabat negara, termasuk DPRD,”
ujar Yusfitriadi, Jumat (10/10/2025).
Organisasi Dibiayai Negara Tak Boleh Dirangkap
Ia menjelaskan, pejabat negara dilarang merangkap jabatan dalam organisasi yang tergolong lembaga negara, seperti lembaga peradilan, BUMN/BUMD, atau organisasi olahraga nasional (seperti KONI), serta organisasi yang dibiayai oleh anggaran pemerintah.
Dalam konteks Kabupaten Bogor, kata Yusfitriadi, Karang Taruna memang bukan lembaga pemerintah secara struktural, namun tetap mendapat pembiayaan dari APBD melalui anggaran Pemerintah Kabupaten Bogor.
“Dalam konteks ini, Karang Taruna memang bukan organisasi pemerintah, tetapi sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pemerintah daerah. Karena itu, Heri Gunawan sebagai anggota DPRD sudah masuk dalam ranah rangkap jabatan yang dilarang oleh undang-undang,”
tegasnya.
![]() |
Heri Gunawan |
Ada Potensi Konflik Kepentingan
Yusfitriadi menilai posisi ganda seperti itu menimbulkan potensi konflik kepentingan, baik dalam konteks politik, independensi organisasi, maupun dalam penganggaran dan penggunaan dana publik.
“Larangan rangkap jabatan itu dibuat untuk mencegah konflik kepentingan. Baik konflik dalam konteks politis, independensi organisasi, maupun dalam penggunaan anggaran negara,” ujarnya.
Ia menambahkan, posisi ganda seorang anggota DPRD dapat mengikis integritas lembaga legislatif, karena seseorang bisa berada di dua kepentingan yang saling bersinggungan: pengawasan dan penerima anggaran.
“Anggota DPRD itu punya fungsi pengawasan. Tapi kalau memimpin organisasi yang menerima dana dari APBD, di mana letak independensinya?” tutur Yusfitriadi.
Etika Publik dan Integritas Dipertaruhkan
Selain aspek hukum, Yusfitriadi juga menyoroti dimensi etika publik.
Ia menilai tidak pantas seorang pejabat publik merangkap jabatan dalam organisasi kemasyarakatan yang juga menerima dana negara, sementara banyak masyarakat lain yang juga punya kapasitas untuk memimpin organisasi tersebut.
“Dari jutaan warga Kabupaten Bogor, masa jabatan harus dirangkap-rangkap. Ini persoalan moralitas dan etika politik,” katanya.
Menurutnya, langkah paling etis yang bisa dilakukan adalah Heri Gunawan mengundurkan diri dari jabatan Ketua Karang Taruna agar dapat fokus pada tugasnya sebagai wakil rakyat.
“Kalau Heri Gunawan masih punya integritas dan etika, sebaiknya mengundurkan diri dari jabatan di Karang Taruna. Begitu juga anggota DPRD lain atau pejabat pemerintah yang merangkap di organisasi serupa,” tegasnya.
Ujian Integritas Bagi DPRD Kabupaten Bogor
Yusfitriadi menegaskan, kasus ini bukan sekadar soal Heri Gunawan, tetapi menjadi refleksi moral bagi seluruh pejabat daerah di Kabupaten Bogor agar tidak menjadikan organisasi masyarakat sebagai alat politik atau ruang memperluas kekuasaan.
“Ini bukan hanya soal jabatan, tapi soal motif politik. Kalau organisasi sosial dijadikan alat politik, maka nilai pengabdian di dalamnya akan hilang,” tandasnya.
Menurutnya, sudah saatnya DPRD Kabupaten Bogor melakukan pembersihan internal dan memastikan setiap anggotanya memegang teguh prinsip integritas, transparansi, dan etika publik.
Editor: Nurhadi
Sumber: Pengamat Politik Yusfiriadi